UU AGRARIA HINDIA-BELANDA TAHUN 1870-1885

UU AGRARIA HINDIA-BELANDA TAHUN 1870-1885
Oleh: Fani Perdana

Abstrak

UU Agraria atau Agrarische Wet bisa di bilang awal mula dari sistim ekonomi Liberalism di Hindia belanda. Yang di lakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dari diterapkannya UU Agraria banyak menuai kontroversi diberbagai pihak. Karena dari kebijakan UU Agraria sangat memberatkan kaum pribumi dalam hal ini para pekerja kebun pertanian asing. Namun, dari penerapannya ini pihak Belanda dapat mendulang keuntungan yang cukup tinggi. Diterapkannya UU Agraria di Jawa ini menarik investor-investor asing dari Eropa dan Cina untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda dan khususnya di Pulau Jawa. Tapi hal tersebut hanya dirasakan oleh kaum bangsawan kerajaan yang memiliki tanah untuk disewakan kepada pihak asing untuk dijadikan perkebunan kopi, tembakau, kina dan lain-lain. Dalam penerapannya pun sering terjadi penyelewengan-penyelewengan yang di lakukan oleh pihak Pemerintah Belanda maupun oleh pihak bangsawan kerajaan yang tanahnya mereka sewakan.
Pertama, hak yang mereka punyai berdasarkan peraturan sebelumnya, tidak memadai karena tidak bersifat kebendaan dan karena itu tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh pinjaman dari Bank. Kedua, tanah konsesi meliputi kampung-kampung yang persediaan tanah bagi penduduknya harus dijamin untuk waktu sekarang dan akan datang. Hal ini menyulitkan usaha-usaha untuk memperluas pengolahan tanah-tanah konsesi.
Dari uraian diatas tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan mengenai sistim ekonomi liberal yang di terapkan olah pihak Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda pada Medio 1870-1885 serta bagaimana perkembangan sistim ekonomi liberal ini yang terjadi.
Kata kunci: UU Agraria, penyelewengan, investor asing.

PENDAHULUAN

Sebelum tahun 1870 pengusaha-pengusaha tidak dapat mendirikan perusahaan pertanian yang besar serta tidak ada kesempatan untuk mengembangkan sayapnya di Indonesia yang pada waktu itu disebut Nederland Indie (Hindia Belanda). Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah-tanah yang masih merupakan.

Hutan belukar atau tanah kosong. Itupun dengan waktu yang terbatas, yaitu tidak lebih dari 20 tahun saja. Lagi pula hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi, yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada bendanya (tanah). Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan. untuk mendapatkan pinjaman dibank. Oleh sebab itu, Agrarische Wet 1870 mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan masih dapat diperpanjang bila dibutuhkan. Hak erfpacht dipandang lebih memenuhi kebutuhan para pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya (tanah), sehingga dapat dijadikan tanggungan dalam meminjam uang di Bank untuk menambah modal.

Dalam tulisan ini penulis ingin menerangkan tentang sistim ekonomi liberal yang di terapkan olah pihak Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda pada Medio 1870-1885 serta bagaimana perkembangan sistim ekonomi liberal ini yang terjadi.








· Perkembangan Ekonomi Liberalisme

Pada zaman ini pula perkembangan industri ekspor perkebunan dan tambang yang paling pesat di Hindia-Belanda. Industri ekspor ini dapat dibilang sebagai pusat perputaran ekonomi utama bagi kehidupan. Sistim ekonomi Liberal di Hindia-Belanda dan industry ekspor ini sangat berpengaruh pada perkembangan sektor-sektor lain. Hal ini di dorong pula dengan dibuaknya Terusan Suez pada tahun 1869 yang sangat berpengaruh bagi Negara penghasil bahan mentah sebagai pengekspor dan Negara konsumen sebagai pengimpor.
Biarpun para penganut Liberalisme di Belanda mengecam peran pemerintah Hindia-Belanda saat menerapkan sistim tanam paksa yang menganggap bahwa Hindia-Belanda adalah suatu perusahaan dan harus menghasilkan laba. Perbedaan para pendukung sistim tanam paksa dengan para penganut Liberalisme hanya terletak pada gambaran mengenai Hindia-Belanda.

Jika Van den Bosch melihat Hindia-Belanda sebagai perusahaan Negara, dan para penganut Liberalis melihat Hindia-Belanda sebagai perusaahan swasta. Dan dua-duanyan menginginkan agar perusahaan itu menghasilkan keuntungan dan saldo berlebih (batig slot) untuk dikirim ke pemerintah pusat di Belanda. Kaum Liberal menghendaki bahwa pemerintah Hindia-Belanda seharusnya melakukan pembangunan sarana dan  prasarana untuk menunjang kemajuan industri ekspor Hindia-Belanda. Seperti jalan raya, irigasi dan lain-lain. Di lain hal kaum Liberalis juga menginginkan pemerintah membangun sarana pendidikan seperti sekolah-sekolah bagi anak-anak mereka serta pengadaan fasilitas kesehatan bagi keluarga mereka dan para pekerja yang berkerja di perkebunan dan perusahaan mereka.

Kaum Liberalis ingin membatasi peran pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Bilamana pemerintah ikut terjun langsung maka akan mendapat efek buruk bagi kehidupan ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Peran pemerintah ialah memberikan perlindungan dasar bagi pribumi agar mereka terus berkerja di perusahaan-perusahaan swasta
· Penerapan Ekonomi Liberalisme

Zaman Ekonomi liberal pada tahun 1870 telah membuat jawa banyak masuk perusahaan asing. Pada masa ini pun tidak hanya investor swasta Belanda yang masuk ke Jawa, melainkan investor seluruh Eropa dan Asia. Dan pihak pemerintah dalam perannya harus menjamin keamanan dan kebebasan bagi perusahaan swasta dan pribumi. Namun masuknya pihak swasta tidak dibarengi dengan berkembangnya taraf hidup pribumi. Maka daripada itu respon penduduk atas berkembangnya sistim Liberalisme ini terlihat pasif.

Para pihak swasta masuk ke Hindia-Belanda hanya bias menyewa tanah dari pribumi yang memiliki tanah dan tanah yang disewa didirikan pabrik-pabrik tembakau, gula, kopi, danlain-lain. Pihak swasta pun dibatasi dengan hanya dapat menyewa tanah dari pribumi dan harus selalu memperbarui kontrak setiap 12 tahun seperti yang diatur dalam UU Agraria. Dan untuk masalah pekerja, pihak swasta menarik pekerja pribumi yang dulunya berkerja di lading-ladang garapan.

Zaman Liberal secara tidak langsung membuat masyarakat Hindia-Belanda ter-moderenkan dengan adanya sistim uang. Karena pihak swasta memerlukan tanah untuk dijadikan pabrik dan sedangkan pribumi yang memiliki tanah hanya kaum bangswan dan elit kerajaan. Sedangkan pribumi yang dulunya berkerja di lading-ladang kaum bangsawan itu setelah tanahnya di jadikan pabrik mau tak mau berkerja di pabrik swasta asing. Dan para pribumi ini sebagai gantinya mendapat upah berupa uang dari pemilik pabrik swasta asing.

Pada masa ini, setelah kaum Liberalis di Belanda memenangkan politik di parlemen (setelah tahun 1850) mereka mulai mencoba menerapkan sistim Liberalisme pada negara jajahannya termasuk di Hindia-Belanda. Kaum Liberalis memiliki keyakinan bahwa perekonomian Hindia-Belanda dapat berkembang dengan jalannya sendiri apabila di berikan kesempatan yang seluas-luasnya pada kekuatan swasta pasar dalam berkerja sebagai mana mestinya.

Dengan dihapuskannya  sistim tanam paksa secara perlahan-lahan, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Kalau di satu pihak modal Belanda diekspor maka di lain pihak modal asing, khususnya Jerman, di tanam di beberapa cabang industri di negeri Belanda.

Dalam perkembangan baru tersebut maka berarti liberalisasi politik perdagangan Belanda yakni pembukaan negeri Belanda bagi perdagangan internasional. Sebagai negara kecil di antara negara-negara besar dengan industriindustrinya yang sudah maju, maka sudah selayaknya kalau pemerintah Belanda mengarahkan dirinya ke pada ekonomi umum. Dengan adanya UU Agraria berarti Belanda menganut politik pintu terbuka, yang berarti pemerintah kolonial memberi kesempatan kepada kaum modal asing untuk nenanamkan modal sebanyak-banyaknya ke Hindia-Belanda. Sistem baru ini membuat Belanda tidak langsung memeras rakyat tetapi lewat kaum kapitalis itulah rakyat Indonesia diperas.

Maka demikian politik Liberalis (1870-1885) berkembang menjadi imperialisme modern. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, dan kina yang mulai berkembang sejak tahun 1870. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu politik itu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh keuntungan.

Perubahan tersebut terjadi karena munculnya kaum liberal dibarengi dengan munculnya kaum pengusaha yang mempergunakan slogan-slogan liberal untuk membenarkan tuntutan mereka memperoleh kekuasaan politik. Memang kelas-kelas tertentu di antara bangsa Belanda mempunyai kepentingan ekonomi di daerah-daerah jajahan.

Selain Undang-undang agraria pemerintah Belanda juga membuat peraturan tentang buruh yang mengesahkan kondisi pekerjaan yang layak bagi pekerja pribumi. Tentang upah minimum yang harus di bayar pemilik perusahaan kepada pekerja. Namun, dalam penerapannya peraturan  ini sering tidak dilaksanakan dengan baik dan malah sering menrugikan kaum pekerja pribumi.

Walaupun tingkat produksi ekspor meningkat. Namun, pada akhir abad kesembilan belas ada pertanda bahwa bagi orang pribumi. Khususnya pulau jawa, akan mengalami kemerosotan dalam taraf hidup mereka. Yang nantinya akan muncul krisis-krisis di kemudian hari.

Sebelum tahun 1885, penerapan ekonomi liberal di Hindia-Belanda mendulang keuntungan yang besar. Walaupun jumlah perusahaan asing belum sebanyak setelah tahun 1885. Namun, pada fase awal ini perusahaan asing dapat meng eksploitasi sumber tanaman yang akan di ekspor di pasar dunia. Tetapi keuntungan-keuntungan dari pesatnya perdagangan tanaman perkebunan ini hanya di rasakan oleh segelintir golongan saja. Golongan pekerja pabriklah yang sangat menderita dari diterapkan sistim liberalisme ini. Karena di terapkannya upah yang sangat minim dari pemilik perusahaan walaupun pemerintah Hindia-Belanda telah menetapkan upah minimum. Serta banyaknya jam kerja yang di bebankan kepada para kaum pekerja yang semakin membuat terhimpitnya kaum pribumi dalam kesusahan.

Pada masa itu pun perkebunan di Hindia-Belanda khususnya di Jawa antara lain; kopi, gula, dan kina. Saat itu pula Hindia-Belanda menjadi pemasok 90 persen kebutuhan kina yang di gunakan di dunia mayoritas berasal dari Jawa. Setelah tahun 1885, tanaman dagang pun mulai mengalami kemunduran di akibatkan turunnya harga-harga; kopi dan gula di pasar dunia.  tanaman dagang yang mengalami kemunduran ini memang telah menampakkan tanda-tandanya sejak tahun 1880. Selalu mendapat pemasukan yang relatif menurun. Hal ini pula di ikuti oleh sikap para pekerja pribumi yang tidak memiliki motifasi kerja dikarenakan rendahnya upah serta tingginya pajak yang harus mereka bayar untuk pemerintah Hindia-Belanda.




KESIMPULAN
Pada zaman ini pula perkembangan industri ekspor perkebunan dan tambang yang paling pesat di Hindia-Belanda. Industri ekspor ini dapat dibilang sebagai pusat perputaran ekonomi utama bagi kehidupan. Sistim ekonomi Liberal di Hindia-Belanda dan industry ekspor ini sangat berpengaruh pada perkembangan sektor-sektor lain. Hal ini di dorong pula dengan dibuaknya Terusan Suez pada tahun 1869 yang sangat berpengaruh bagi Negara penghasil bahan mentah sebagai pengekspor dan Negara konsumen sebagai pengimpor.

Zaman Ekonomi liberal pada tahun 1870 telah membuat jawa banyak masuk perusahaan asing. Pada masa ini pun tidak hanya investor swasta Belanda yang masuk ke Jawa, melainkan investor seluruh Eropa dan Asia. Dan pihak pemerintah dalam perannya harus menjamin keamanan dan kebebasan bagi perusahaan swasta dan pribumi. Namun masuknya pihak swasta tidak dibarengi dengan berkembangnya taraf hidup pribumi. Maka daripada itu respon penduduk atas berkembangnya sistim Liberalisme ini terlihat pasif.

Maka demikian politik Liberalis (1870-1885) berkembang menjadi imperialisme modern. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, dan kina yang mulai berkembang sejak tahun 1885. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu politik itu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh keuntungan.









DAFTAR PUSTAKA
· Breman, Jan. 1982. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
· Sartono Kartodirdjo. 1980. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta, PT Gramedia.
· Tjondronegoro, Sediono MP. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia.
· Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho, Noto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
· Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
· Geertz, Clifford. 1960. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Bojonggede, Dari era VOC, Kolonial dan Masa Kini.

“NGEUYEUK SEUREUH” : UPACARA PRA-NIKAH DI MASYARAKAT SUNDA.

SINERGRITAS TEOLOGI DAN PENDIDIKAN MOHAMMAD NATSIR