SINERGRITAS TEOLOGI DAN PENDIDIKAN MOHAMMAD NATSIR






ABSTRAK 




Muchlis atau biasa dikenal dengan Muhammad Natsir. Merupakan cenidiawan muslim yang
visioner, beliau memadukan islam dengan pemikiran “sekuler” barat dan tidak menghilangkan
sisi islam timur yang kental dan dalam awal pergulatan kehidupannya beliau sempat beradu argumen
dengan kaum nasionalis sukarno yang “merendahkan” islam pada masa pergerakan.Sosok yang haus
akan ilmu tercermin dalam diri Mohammad Natsir dan serta keteguhannya dengan agama islam
mengantarkannya menjadi mentri penerangan pada masa kabinet Sutan Syahrir dan kabinet Hatta.
Serta sempat menjadi Perdana Mentri pada saat indonesia berbentuk RIS. 



Mohammad Natsir merupkan salah satu tokoh multidimensi yang banyak berkiprah dalam berbagai kehidupan masyarakat 
dan kenegaraan, baik dalam bidang pendidikan, politik, maupun dakwah. Pandangan Mohammad Natsir tentang pendidikan 
Islam yang integral, harmonis dan universal telah beliau implementasikan dalam pendidikan Islam yang beliau dirikan bersama 
teman-temanya. Dalam sekolah yang di beri nama Pendis (pendidikan Islam) tersebut Mohammad Natsir mrnggunakan 
kurikulum yang di rancang sendiri dan teman- temannya dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan umum 
Mohammad Natsir memandang Islam bukan hanya agama dalam pengertian sempit, melainkan sebagai ajaran 
tentang tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, pandangan hidup dan sekaligus jalan hidup. Menurutnya, Islam 
lebih dari suatu sistem agama, ia adalah suatu kebudayaan yang lengkap dengan memuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai 
hidup yang lengkap pula. Mohammad Natsir menaruh harapan besar bagi kaum muslim untuk tidak menyia- nyiakan 
segala nilai dan ajaran yang dikandung Islam tersebut di atas. 


BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR 

Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 Juli 1908, adalah
seorang anak pegawai pemerintah. Pada tahun 1927 ia berangkat ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikannya pada Al-Agemene Middelbare School. Sebelumnya ia telah menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertamanya pada sekolah HIS dan MULO di daerah Minangkabau. Di daerah ini juga ia pernah belajar pada sekolah agama yang dipimpin oleh seorang ulama yang bernama Tuan Mondo Amin, seorang kawan dari Haji Rasul. Selain itu ia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad. Dengan itu dapat dikatakan bahwa Muhammad Natsir telah mengenal paham pembaharuan semenjak ia masih remaja. 
Di samping memasuki sekolah pendidikan barat, di Bandung minat Muhammad Natsir semakin
dekat dengan agama. Pada tahun 1928 ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond cabang Bandung di mana ia juga memberikan pelajaran kepada sesama anggota. Kemudian ia juga mengajar agama di Holland Illandse Kweekschool (HIK, Sekolah guru) dan MULO. Muhammad Natsir juga aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh organisasi PERSIS, terutama dalam pelaksanaan acara Jum’at, sehingga ia mempunyai hubungan rapat dengan tokoh- tokoh Persatuan Islam ini. Terutama Hassan, banyakmemberikan bimbingan kepada Natsir. 
Muhammad Natsir sejak awal sudah nampak bakatnya dalam menulis. Majalah Persis ‘Pembela Islam’, dijadikannya sebagai media dalam mengungkapkan pendapat-pendapatnya. Karena perhatian Natsir yang begitu besar dalam studi keislaman, sehingga ia menolak tawaran beasiswa dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan studinya ke sekolah tinggi hukum di Jakarta atau sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam, negeri Belanda. Ia malah memikirkan dan aktif menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak muslim. 
Untuk keperluan terakhir ini Muhammad Natsir Memulainya dengan tekad yang besar, walau modal yang sangat minim. Ia menyewa sebuah tempat yang amat sederhana dengan kapasitas daya tampung yang sangat terbatas di jalan Pangeran Sumedang di Bandung. Dengan bantuan seorang dermawan, Haji Muhammad Junus, sekolah yang didirikan Natsir dapat berkembang dan mendapat respons dari masyarakat Islam. Dalam memberikan pelajaranMuhammadNatsir dibantu oleh kawan-kawannya pada waktu itu antara lain Nur Nahar, yang kemudian menjadi istri Muhammad Natsir. 
Ketika itu disadari oleh Natsir, ada tiga syarat yang dapat menunjang tegaknya suatu lembaga pendidikan,yakni: Modal untuk menyewa atau mendirikan gedung dan segala peralatannya, bantuan tenaga pengajar dari kawan-kawannya yang secita-cita dan seperjuangan serta ilmu pendidikan yang dapat mengarahkan jalannya usaha pendidikan tersebut. Untuk keperluan yang terakhir itu, ia memasuki pendidikan guru yang diselenggarakan oleh AMS selama satu tahun. Tahun 1932, ia berhasil menyelesaikan program diploma tersebut. Selama Natsir dalam pendidikan tersebut, ia dapat menyusun rumusan atau rencana pendidikannya yang terdiri dari sekolah dasar, menengah dan sekolah guru. Teman-temannya di AMS seperti Ir. Ibrahim, Ir. Indracaya, Fachruddin Al-Khahiri dan sebagainya disamping Nur Nahar, banyak membantu dalam perkembangan sekolahnya. (Yusuf, ibid). Demikianlah lembaga pendidikan yang dirintis oleh Natsir mengalami perkembangannya dan pada akhirnya mengalami nasib buruk dengan datangnya masa penjajahan Jepang yang menutup semua sekolah partikelir, termasuk sekolah-sekolah Natsir. Namun semangat pendidikan Natsir ini tidak pernah pudar, Beliau terus memikirkan pendidikan Islam walaupun pada akhir hayatnya tidak sempat lagi menekuni bidang pengajaran di lembaga pendidikan formal. Selain di bidang pendidikan, Muhammad Natsir banyak berkiprah di bidang politik. Bagi Natsir, di zaman kolonial, terjun di bidang politik merupakan suatu hal yangsangat lumrah. Seseorang yang telah terjun dl masyarakat, jika ia sadar melihat ketimpangan yang ada dengan sendirinya iapun berusaha merobah hal tersebut. Upaya merobah keadaan yang ada sebenarnya seseorang dengan sendirinya sudah terjun ke dunia politik. Apakah yang bersangkutan berprofesi sebagai seorang guru, dokter, insinyur, ulama atau apa saja. Sebagai anggota Jong Islamieten Bond maupun Persis, Muhammad Natsir giat dalam lapangan politik menghadapi pemerintah kolonial. Ia juga banyak melakukan polemik dengan kalangan politisi kebangsaan yang netral agama, terutama dengan Sukarno. Hal ini dapat dimaklumi mengingat Natsir sebagai seorang yang kukuh dalam pendirian Islam. Hal tersebut terjadi baik pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan. Kegiatan politik Muhammad Natsir pada garis besarnya dapat dilihat pada jabatan yang pernah dipegangnya antara lain: Ketua Jong Islamieten Bond Bandung (1928-卢1932), Anggota Dewan kabupaten Bandung (1940-1958), Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946), Menteri Penerangan RI (1950--1951), Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958), Perdana Menteri RI (1950-1951), Anggota Parlemen RI (1950-1958), Anggota Konstituante (1956-1958), Anggota PRRJ (1958-1960), Vice President World Muslim Congres (1967) dan sebagainya (Natsir, 1980:52). Kegiatan dan pemikiran Natsir dalam bidang tersebutdi atas adalah merupakan refleksi dari pandangan teologisnya. Yakni keyakinan akan kebenaran Islam sebagai pandangan hidupnya sekalipun Natsir mentolerir kemerdekaan berpikir (akal), namun baginya akal memerlukan bimbingan untuk dapat berfungsi dan menghasilkan kebenaran yang hakiki. 


PEMIKIRAN TEOLOGI MOHAMMAD NATSIR 




Pada bagian ini penulis akan mengangkat seklumut sistim teologi yang dianut oleh Mohammad Natsir. Yang pada dasarnya dapat dilihat pada pandangannya tentang hubungan antara wahyu dengan akal pikiran. Serta sikap beliau mengahadapi persoalan kehendak mutlak tuhan dan kebebasan manusia. 
Menurut Natsir bahwa islam sangat mencela orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, orang yang terikat pikirannya dengan kepercayaan-kepercayaan dan paham-paham manusia yang tidak berdasarkan kebenaran, mereka tidak mau memeriksa apakah paham dan kepercayaan yang disuruh orang terima itu berdasarkan kebenaran atau tidak. Tegasnya Natsir mengajak rakyat indonesia untuk berfikir kritis dalam berfikir dan bertindak dalam kehidupan. 
Akan tetapi Natsir menyadari keterbatasan akal pikiran manusia. Karena itu akal memerlukan bimbingan dan petunjuk dari wahyu Ilahi, jika tidak maka akal yang lepas kontrol dapat mengambang, bahkan bisa sesat. Ia menggambarkan bahwa akal yang sedemikian dapat saja melogiskan dan merasionalkan semua khurafat, semua bid’ah dan takhyul. Ia melihat fakta yang kontroversial mengenai hasil kerja akal yang bebas. Dengan akal merdeka mungkin seseorang mencela pemujaan patung, penggunaan azimat karena dianggapnya tidak logis, akan tetapi dengan akal itu pula yang mencarikan alasan mengkultuskan seseorang, menghormati bendera, terpaku dihadapan api unggun, mengadakan patung R.A. Kartini meletakkan patung ituditempat yang terang laras, mengatur upacara berdiri sambil berta’jub tafakkur dihadapan benda yang tak bernyawa itu. Natsir mengemukakan beberapa contoh tentang akal yang terbimbing dengan wahyu Ilahi. Dengan akal merdeka, kaum muslimin terbebas dari kekolotan yang membekukan otak, kejumudan, dengan akal merdeka telah melahirkan seorang Washil Ibn Atha’ yang berani mengritik cara berfikir Imam Hasan Al-Bashri. Dengan akal itu pula telah melahirkan Abu AlHuzail Al-Allaf, Al-Nazzam dan lain-lain pujangga Mu’tazailah yang tak kalah ketajaman otaknya dibandingkandengan filosof-filosof Barat. Dengan akal pula melahirkan Fakhruddin Al-Razi yang melahirkan tafsir Qur’an yang hingga kini tetap up to date, melahirkan Asy’ari yang berani mengeritik kelemahan-kelemahantokoh-tokoh Mu’tazilah dan melahirkan aliran teologi yang diperpegangi sebagian besar ummat Islam hingga dewasa ini. Asy’ari dengan teori ‘Ainusysyai’-nya tak kalah jika dibandingkan dengan teori Das Ding an Sich-nya Immanuel Kant, atau dengan teori “Kasb”-nya yang mendahului teori “Harmonia Praestabilia”-nya Leibnitz. Akal merdeka yang terbimbing pula melahirkan A-Ghazali, Ibn Taimia, seorang Muhammad Abduh dan sebagainya (ibid:8-9). 
Muhamad Natsir mengakui betapa besar peran Mu’tazilah dalam membela kebenaran Islam dengar argumenrasionalistiknya. Akan tetapi seorang Mu’tazilah seperti AlJubba’i akhirnya harus mengakui kritikan Asy’ari bahwa banyak hal di mana kita terpaksa harus mengatakan “Huwallah A’lam!”,atau menerima informasi wahyu dengan prinsip “Bila-kaifa”. Ia menjelaskan bahwa lapangan akal dapat menjelajahi semua ciptaan Ilahi, akan tetapi dilarang mengorek persoalan tentang (Zat) Allah. Demikian pula jika orang memperdebatkan tentang qadha dan qadar maka sebaiknya kita diam saja, karena persoalan itu diatas jangkauan akal 


Pemikiran M. Natsir dalam Pendidikan 
Kerangka pemikiran M.Natsir muncul ketika beliau bersekolah di bandung dan pertemuannya dengan seorang islam asal Singapura bernama Ahmad Hassan. Mohammad Natsir yang sering berdiskusi dengan gurumya A.Hassan dan pemikiran M.Natsir banyak di pengaruhi oleh gurunya tersebut. Pada awal 1930an M.Natsir dengan A.Hassan menerbitkan surat kabar “Pembela Islam” yang berhaluan keagamaan yang saat itu pihak Belanda masih menguasai Indonesia. 
Natsir juga memiliki ketertarikan dengan bidang pendidikan dilatarbelakangi oleh perbandingan pendidikan di barat dengan Islam. Ini dikarenakan M.Natsir berkesempatan belajar dan memperoleh pendidikan formal melalui pendidikan barat. Ia termasuk orang yang beruntung memperoleh pendidikan moderen yang dilaksanakan oleh pemereintah kolonial belanda. Namun karena latarbelakang keluarganya yang berasal dari minangkabau M.Natsir sangat taat beragama.



Pendidikan bagi Natsir adalah menyangkut kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dia melihat adanya ketimpangan antara pendidikan Barat dengan pendidikan yang selama ini dikelola oleh ummat Islam. Diukur dari segi kemajuan duniawi, pendidikan Barat lebih maju, akan tetapi dari segi nilai etis dan kepentingan ukhrawi pendidikan yang dikelola ummat Islam lebih menonjol. Permasalahan inilah yang melatarbelakangi pemikiran Natsir sehingga iaterjun ke dunia pendidikan. Ia berusaha menyatukan kedua keutamaan yang dimiliki masing-masing lembaga tersebut, sehingga dalam hal ini sangat terbuka menerima hal-hal yang bersifat positif yang ada dalam pendidikan Barat. Dalam hal ini terutama yang menyangkut perkembangan sains dan teknologi. Bagi Natsir tidak melihat dari segi Barat dan Timurnya, melainkan kemajuan itu sendiri yang diakuinya ada pada pihak Barat. 
Natsir juga menunjukkan kekurangan pendidikan Barat dari segi ruhaniah. Dalam hal ini pendidikan Islam dengan landasan tauhidnya merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Suatu contoh fenomena pendidikan Barat dikemukakan Natsir tentang problema yang dihadapi Prof. Paul Ehrenfest, guru besar dalam ilmu fisika. Paul Ehrenfest meskipun seorang terpelajar yang berasal dari keluarga yang berperangai baik-baik dan dia sendiri dikenal sebagai ilmuwan yang bermoral. Tetapi pada akhir hayatnya ia lalu membunuh anak sendiri lalu mengakhiri hidupnya sendiri. Menurut surat pernyataan yang ditinggalkan bahwa hal itu dilakukan secara sadar karena ada suatu hal yang mengganjal dalam pikirannya yaitu kesadaran akan perlunya kepercayaan tempat bergantung selama ini telah disepelekannya karena percaya akan kebenaran ilmu pengetahuan sebagai tumpuan segalanya, yang kemudian disadarinya pula sebagai suatu hal yang nisbi, yakni kebenarannya hari ini belum tentu kebenarannya hari esok, karena ilmu mengalami perubahan terus menerus. Professor tersebut mempunyai anak yang sangat dicintainya yang diharapkan sebagai generasi satu-satunya yang akan melanjutkan riwayat dan mewarisi intelektualnya, namun anak tersebut mengalami kelemahan otak sehingga pengorbanannya yang besar membiayai anaknya dianggapnya sia-sisa belaka. Karena tidak mempunyai pegangan hidup dalam mengatasi problema itu, lalu secara sadar ia tega membunuh anaknya dan dirinya sendiri. 








SUMBER BUKU 

Natsir, Mohammad. Capita Selecta I. Jakarta: Bulan Bintang,1973

Natsir, Mohammad. Capita Selecta II.Jakarta: Bulan Bintang,1973

Shahab, Idrus F.; dkk. (2008). Natsir:Politik Santun di antara Dua Rezim. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

M. Basir Syam. Sinergitas Pemikiran Muhammad Natsir Di Bidang Teologi. Pendidikan dan Poltik (Suatu Kajian Perspektif Pemikiran Politik Islam)Vol. 1 No. 2, July 2015 | P-ISSN: 2407-9138

Muhammad Natsir, Mempersatukan Ummat. Jakarta: Samudera.1983

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Bojonggede, Dari era VOC, Kolonial dan Masa Kini.

“NGEUYEUK SEUREUH” : UPACARA PRA-NIKAH DI MASYARAKAT SUNDA.