KONFLIK KEKUASAAN SYI’AH-SUNNI PADA MASA DINASTI SAFAWIYAH
KONFLIK KEKUASAAN SYI’AH-SUNNI PADA MASA DINASTI SAFAWIYAH
Oleh: Pemuda Tersesat
Abstrak
Dinasti Safawiyah bisa dibilang salah satu dinasti yang berdiri dengan landasan Mzahab Syi’ah yang berkedudukan di daerah Persia Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Dinasti Safawiyah ini sendiri lahir atas dasar kelompok suku yang bermukin dan ingin melakukan pembaharuan dalam islam itu sendiri. Dan juga mayoritas mazhab Safawiyah ini adalah mazhab Syi’ah. Dalam perjalanannya Dinasti Safawiyah pun mengalami kemunduran dan faktor pertentangan mazhab yang membuay dinasti ini runtuh pun tidak dapat dipungkiri lagi. Gempuran atas Kekaisaran Ottoman yang bisa dibilang berlandaskan mazhab Sunni dan keberadaan Mazhab Syi’ah yang mendominasi Dinasti Safawiyah ini mengkhawatirkan bagi Kerajaan Kekaisaran Ottoman. Dan bisa dibilang mazhab Syi’ah yang mendominasi Dinasti Safawiyah ini pun yang nantinya menghantarkan dinasti ini dalam keruntuhannya. Konflik ini yang bisa dibilang sebagai awal dari keruntuhan dinasti Safawiyah peperangan dengan Kekaisaran Ottoman pun tidak dapat terelakan lagi bagi dinasti Safawiyah.
Kata Kunci: Safawiyah, Mazhab, Dinasti, Syi’ah, Sunni
Pemikiran Politik Syi’ah
Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik. Pada masa pasca Ali itulah Syi’ah sebagai sebuah madzhab terbentuk. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang dapat dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Terpinggirkan dari ranah politik yang membuatnya apolitis, sehingga paham Syi’ah ini, yang digambarkan oleh Sayyid al- Murtadha, menganut paham politik dengan watak “isolasionis”. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam Syi’ah, yang berhak menjadi Imam adalah dari keturunan Nabi (ahl al- Bayet).
Konsepsi Imamah, yang dianut Syi’ah, inilah yang menjadi garis pemisah yang tegas antara aliran Syi’ah dengan aliran Sunni. Bagi kaum Syi’ah, menurut al-Qasim menegaskan bahwa seorang imam adalah anugerah dari Tuhan. Ia menolak konsepsi pemilihan umum dengan alasan bahwa manusia sejak dulu suka berdebat; mereka tidak akan pernah sepakat tentang apapun. Syi’isme, menolak mengakui bahwa pendapat mayoritas dengan sendirinya adalah benar, dan tetap meyakini bahwa semua kekuasaan duniawi dalam kondisi ketiadaan Imam adalah tidak sah.
Pemikiran Politik Sunni
Pada intinya, pemikiran politik Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang pada gilirannya, akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik di kehidupan akhirat. Akan tetapi, Sunni juga membatasi seorang khalifah, atau pengganti Nabi Muhammad SAW bahwa mereka haruslah laki-laki dan dari keturunan suku Quraisy, dari kelompok mereka. Pada pandangan politik kaum Sunni, mereka mengembangkan strategi pemisahan radikal antara otoritas agama dan otoritas politik. Otoritas agama membentuk sebagain besar tubuh sosial dan menjadi politik didukung oleh kekuatan militer. Untuk menjadi Imam (pemimpin), seseorang tidak perlu, seperti dalam pandangan politik Syi’ah, terbebas dari kemungkinan melakukan kesalahan (ma’shum) atau memiliki karakter yang istimewa.
Perebutan Hegemoni Wilayah
Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Kekaisaran Ottoman dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi’ah dan dijadikan sebagai Madzhab negara. Oleh karena itu, dinasti Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya Negara Iran dewasa ini. Dan hal ini juga sering membuat perpecahan di dalam tubuh dinasti Safawiyah itu sendiri. Dalam perjalanannya dinasti ini mengalami pasng-surut kekuasaan dalam melegitimasi wilayah-wilayah disekitar Persia (iran saat ini).
Pada 1501 Isma’il menduduki Tabriz dan mengklaim dirinya sebagai Shahdan dalam satu dekade telah menaklukkan wilayah Iran. Sementara pesaingnya Kekaisaran Ottoman di Barat menguasai wilayah Anatolia Timur dan Kekaisaran Shaybani di Timur menguasai Transoxania sepanjang sungai Oxus.
Persaingan politik memutus Kekaisaran Ottoman dari budaya Islam di Iran dan memperkuat pembagian budaya yang tumbuh antara Iran dan Asia Tengah. Batasan-batasan ini membagi Timur Tengah ke dalam pemerintahan yang terpisah antara Ottoman di Turki, Iran, dan budaya-budaya Muslim Asia Tengah. Isma’il, yang tidak hanya mengklaim diri sebagai representsai Imam yang tersembunyi, tetapi Imam yang tersembunyi itu sendiri. Setelah berkuasa, mengambil keputusan mengubah Iran menjadi negara yang menganut Syi’ah Imamiyah, dan hal ini dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Shah Tahmasp. Kebijakan ini melahirkan tindakan pembasmian terhadap kaum ekstremis, pengeksekusian terhadap penganut aliran sufisme, penindasan terhadap kaum Sunni, dan penyebaran ajaran Syi’ah Imamiyah.
Seperti yang telah di paparkan di atas sikap politik Syi’ah ini lah yang bisa dibilang membuat eksistensinya dapat menurun dari kontestasi perebutan hegemoni kekuasan wilayah di sekitar wilayah Persia dan hal ini juga membuat kaum Sunni yang berbasis di Turki Ottoman dapat dengan mudah memainkan peran menghegemoni wilayah-wilayah disekitar kerajaan Safawiyah
Isu penting yang menarik pada masa Safawi adalah munculnya dua aliran Akhbari dan Ushuli dari kalangan Syiah, kaum Akhbari berpendapat bahwa akhbar (hadis) yang berasal dari Nabi dan para imam merupakan sumber yang memadai untuk kehidupan keagamaan kaum muslimin, sedangkan kaum ushuli menganggap argumentasi rasional penting dalam mengelaborasi ajaran-ajaran agama, dengan tidak mengenyampingkan nash yang shahih. Akibatnya, berbeda dengan kaum akhbari, kaum ushuli memberikan kesempatan yang besar kepada ulama untuk menafsirkan dasar- dasar keyakinan Syiah dan dapat dijadikan panutan selama mereka hidup oleh pengikutnya.
Walaupun pada akhirnya kaum ushuli dapat diterima dan mengalahkan kaum akhbari, sehingga menimbulkan muncul dan terbentuknya Marja` al-Taqlid dan selanjutnya teori Wilayah al-Faqih dari Mulla Ahmad Naraqi dan Syeh Muhammad Husein Na`imi yang sama-sama menganggap bahwa ulama mempunyai hak prerogatif di bidang politik yang pada gilirannya dikembangkan oleh Ayatullah Khumeini.
Safawiyah menjadikan Syiah Imamiyah sebagai agama resmi pemerintahan Iran dan mengeliminir pengikut sufi sebagaimana yang dilakukannya terhadap ulama Sunni, menyerap ide-ide filsafat dan gnostis dan pemujaan terhadap wali.
KESIMPULAN
Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik. Pada masa pasca Ali itulah Syi’ah sebagai sebuah madzhab terbentuk. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang dapat dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Terpinggirkan dari ranah politik yang membuatnya apolitis, sehingga paham Syi’ah ini, yang digambarkan oleh Sayyid al- Murtadha, menganut paham politik dengan watak “isolasionis”. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam Syi’ah, yang berhak menjadi Imam adalah dari keturunan Nabi.
Selain menjadi sebuah konflik, pertentangan antara Sunni yang dipelopori oleh Saudi Arabia dan Syiah oleh Iran, memantik persaingan global antara kedua negara tersebut, masing-masing berambisi untuk menjadi super power di timur tengah, mereka berebut pengaruh serta supremasi di Timur Tengah dan Teluk.
Serta pertentangan yang dipaparkan dalam tulisan diatas bisa menarik hipotesis awal berupa. Bahwa bisa dibilang pertentangan antar mazhab yang terjadi di Timur Tengah ini dapat membuat kehancuran dan menelan korban jiwa, materil, dan non-materil yang tidak sedikit ditanggung oleh kedua belah pihak yang berseteru dalam pertentangan antar mazhab. Dan semoga pertentangan mazhab tidak terjadi di Negara tercinta kita Indonesia ini, AMIN.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bosworth, C. (1993). Dinasti-dinasti Islam (1 ed.). (I. Hasan, Trans.) Bandung: Mizan.
Zubaedah, S. (2016). Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publising.
Kraemer, Joel L. (2003). Renaisans Islam, Bandung: Mizan.
Jurnal
Mutawali, Muhammad. (2017). ARAB SUNNI DAN IRAN SYI`AH KONTEMPORER : Konflik atau Persaingan?, Jurnal Osf Home,
Sahide, Ahmad. (2013). Konflik Syi’ah-Sunni Pasca-The Arab Spring, Jurnal Kawistara, vol 3 No. 3.
Komentar
Posting Komentar